RADARCIREBON.TV- Pada era kolonial, Cirebon terkenal sebagai wilayah kumuh karena populasi penduduk yang terus meningkat.
Menurut catatan Tome Pires ketika berkunjung ke Cirebon tahun 1513, melihat bahwa Cirebon memiliki pelabuhan yang ramai dengan aktivitas perdagangan.
Akibatnya pelabuhan menjadi titik sentral pembangunan penduduk kota, sehingga aktifitas perniagaan semakin ramai.
Baca Juga:Final Copa Del Rey Catat Jamnya, El Clasico Tahun Ini Milik BarcelonaPrediksi Final Copa del Rey 2024-2025, Barcelona vs Real Madrid, Siapa Layak Juara?
Pergeseran kekuasaan wilayah oleh Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1681, menyebabkan urusan politik dan ekonomi berada di bawah kendali kompeni. Sejak abad ke-18 VOC mulai mengatur pembangunan Cirebon.
VOC membangun Cirebon hanya berdasarkan kepentingan ekonomi semata dan tidak memperhatikan kondisi lingkungan.
Pemukiman penduduk semakin padat di sekitar pelabuhan. Semasa itu pula, pusat kota bergeser dari Keraton ke Pelabuhan.
Populasi Penduduk Semakin Meningkat
Menurut Raffles dalam bukunya The History of Java, menerangkan pada tahun 1805-1815 terjadi peningkatan penduduk Cirebon dari 160.100 jiwa menjadi 216.001 jiwa.
Populasi penduduk meningkat dari tahun ke tahun, keadaan kota terutama wilayah pelabuhan menjadi semakin padat.
Para pendatang mendirikan perkampungan-perkampungan kumuh di pinggiran kota. Akibat kehidupan kota yang keras menimbulkan angka kemiskinan baru di Cirebon.
Kondisi Pribumi Kian Suram
Di Masa kolonial, mayoritas orang Eropa di Cirebon memiliki rumah besar dan nyaman. Mereka memiliki wilayahnya sendiri.
Baca Juga:Liburan ke Jepang Tanpa Izin, Bupati Lucky Hakim Disangksi Magang 3 Bulan di KemendagriDaftar Lengkap HP yang Support eSIM di Indonesia, Apa Saja?
Orang-orang yang berasal dari Arab dan Cina tinggal di Panjunan, Pasuketan, Pekalipan, Karanggetas, Pagongan, Kanoman, dan Perujakan. Wilayah perdagangan tersebut memiliki citra kotor dan padat penduduk.
Baik orang Arab maupun Cina membuat jamban yang tersambung ke sungai. Mereka gemar membuang limbah rumah ke sungai. Akibatnya sungai tercemar dan menyebabkan wabah penyakit, salah satu sungai kala itu bernama Kali Bacin.
Kondisi pribumi hidup dengan kemiskinan. Rumah orang pribumi berada di sekitar Kanggraksan, Kejaksan, dan Cangkol. Rumah-rumah terbuat dari bambu, tanpa ventilasi dan saluran pembuangan yang memadai
Kota Kumuh dan Sering Banjir
Majalah kolonial bernama Weekblad voor Indie memberitakan kondisi Cirebon pada awal abad ke-19 merupakan kota yang jorok.
Tata kelola Cirebon tidak teratur, kotor, becek, penuh lumpur dan comberan, serta tidak mempunyai saluran pembuangan air limbah rumah tangga. Kondisi semakin parah kala banjir melanda rumah warga ketika musim hujan tiba.
Pada tahun 1914, surat kabar Bintang Tjirebon memberitakan penyebab utama malaria di Cirebon ialah kepadatan penduduk dan kondisi permukiman yang kumuh.