Semakin beragam moda transportasi berbasis daring di Kota Cirebon. Mau tidak mau, dampak dari pelaku transportasi konvensional seperti becak semakin terasa. Berbeda dengan masa jayanya di sekitar tahun 2000-an, kini para pengemudi becak perlu bekerja sangat keras bahkan untuk mendapatkan seorang penumpang.
Masih sering kita temui tukang becak bersliweran di sekitar Kota Cirebon, namun nyatanya penghasilan mereka sudah sangat menurun karena banyak penumpangnya yang beralih kepada transportasi daring. Salah satu alasan tukang becak belum tertarik beralih profesi menjadi pengemudi transportasi daring adalah karena keterbatasan materi; mereka tidak mempunyai motor ataupun gawai untuk dapat mengoperasikan aplikasinya.
Dari puluhan tukang becak yang kerap memenuhi Stasiun Kejaksan di awal tahun 2000-an, kini tinggal dapat dihitung jari tukang becak yang masih setia menunggu penumpang yang turun dari kereta. Kebanyakan dari mereka memilih beralih profesi karena penghasilannya yang semakin tidak menentu setelah maraknya transportasi berbasis aplikasi.
Baca Juga:Silaturahmi dengan Ahmad Syaikhu, KGPP Nyatakan Dukungan untuk ASIHDesa Sutawinangun Jadi Wilayah Langganan Banjir – Video
Tukang becak, Kasbul, menuturkan bahwa ia merasa kesulitan bahkan untuk mendapatkan seorang penumpang. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun pertamanya sebagai pengemudi becak, di mana ia paling sedikit mendapatkan 4 penumpang dalam sehari, apalagi pada momen seperti Lebaran. Beruntungnya, ia masih sering membawa penumpang yang memberikan ongkos lebih karena merasa simpati padanya.
Penolakan yang kerap mereka terima terkadang berasal dari pelanggan yang baru turun dari kereta, seakan tidak menghiraukan tawaran menaiki becak mereka. Harapan mereka adalah agar Pemerintah Kota (Pemkot) dapat meregulasi kembali peraturan pengambilan penumpang di sekitar objek vital, seperti di stasiun, minimalnya agar dapat memberikan kesempatan kepada mereka untuk sekadar mengantarkan penumpang keluar dari kawasan stasiun.