3 Kekeliruan Ini Berpotensi Jadi Pemicu Kasus Kekerasan di Pesantren

Pemicu Kasus Kekerasan di Pesantren
Pemicu Kasus Kekerasan di Pesantren
0 Komentar

RADARCIREBON.TV – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan sebanyak 101 anak telah menjadi korban dalam delapan kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan pada periode Januari hingga Agustus 2024.

Bahkan, sebesar 62,5% atau lima kasus terjadi di lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag), termasuk lembaga pendidikan yang mengatasnamakan pondok pesantren.

Ketua Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), Buya Dr. KH Husein Muhammad mengatakan, sudah waktunya pesantren meningkatkan fokusnya pada upaya pencegahan kekerasan terhadap anak.

Baca Juga:Kementerian PPPA: Indonesia Emas Dimulai dari Pesantren72,5% Pesantren Terapkan Kurikukum Ramah Anak

Salah satunya, dengan menciptakan suasana dan menerapkan kurikulum yang ramah anak bagi para santri.

“Sama seperti yang banyak dialami perempuan, faktornya adalah pemahaman yang keliru tentang tiga hal, pertama salah memahami tradisi, hukum, dan keliru dalam memahami cara pandang keagamaan. Kalau kita tidak bijak dalam menerjemahkan tiga hal itu, maka aturan-aturan yang kita ciptakan justru bernilai diskriminasi dan subordinasi, hingga tak menutup kemungkinan berbuah tindak kekerasan,” katanya, saat menjadi pembicara kunci dalam Focus Group Discussion (FGD) Pencegahan Kekerasan di Pesantren, di Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, Jumat, 23 Agustus 2024.

Menurut Buya Husein, sapaan akrabnya, lembaga pendidikan dalam format apapun, termasuk pesantren sudah saat meneguhkan diri sebagai ruang yang dialogis, bukan justru menjadi indoktrinasi bagi para santri.

“Teguhkan diri bahwa menjadi guru adalah sebagai teman bagi para santri. Penyampaian pengetahuan dalam relasi keduanya harus dilakukan secara dialektika, bukan pemaksaan,” katanya.

Pola ini, lanjut Buya Husein, sudah banyak diterapkan negara-negara maju hingga terbukti telah membuahkan hasil yang baik.

Terobosan pendidikan telah mengharuskan bagi penyelenggara untuk memahami kebutuhan, minat, dan kemampuan anak-anak yang cenderung berbeda-beda.

“Jadi, ustaz di pesantren harus lebih bersabar. Perbanyaklah bertanya kepada santri, misalnya, ‘Menurut kamu bagaimana? Bagus tidak?’ Jika dijawab tidak bagus, ‘Kenapa tidak bagus? Jadi, menurut kamu enaknya bagaimana?.Bukan langsung dengan memaksakan ‘Kamu harus begini, tidak boleh begitu,’ atau ‘Kalau begini maka akan masuk neraka,” katanya.

Baca Juga:40 Kiai Sepakat Perkuat Pencegahan Kekerasan Anak di PesantrenSinopsis The Break-Up: Memahami Tantangan dalam Menjalani Hubungan Romantis

Oleh karena itu, Buya Husein menekankan agar pihak pesantren bisa saling menguatkan komunikasi demi menemukan strategu dan terobosan pendidikan yang lebih baik demi meneguhkan diri sebagai rumah masa depan yang ramah anak.

“Para pendidik harus rajin mencari pemahaman dan pemaknaan alternatif dalam tradisi-tradisi yang selama ini terkesan disalah-pahami,” pungkasnya.

Sementara itu, dalam FGD yang digelar JPPRA bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang diikuti oleh 40 perwakilan pondok pesantren dari Kabupaten dan Kota Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan tersebut menghasilkan data bahwa sebanyak 72,5% pesantren telah mengalami peningkatan dalam melakukan upaya pencegahan kekerasan terhadap santri.

Peningkatan tersebut terbukti dari penerapan kurikulum ramah anak, peningkatan rutinitas sosialisasi pencegahan kekerasan, maupun dengan menyediakan layanan konseling bagi para santri.

Ketua panitia, Ustaz Agung Firmansyah bahkan menyebutkan, sebanyak 37,5% pesantren dinilai telah memiliki aturan dan kebijakan tertulis yang berfokus pada peningkatan perlindungan anak.

Dia mengatakan, kegiatan yang dilaksanakan sebagai bagian dalam memperingati HUT Ke-79 Kemerdekaan RI dan bertema “Santri Merdeka, Indonesia Digdaya” itu memiliki tujuan untuk merumuskan rekomendasi strategis yang dapat diterapkan pesantren di seluruh Indonesia.

Ustaz Agung berharap, hasil FGD bisa menjadi pedoman bagi pesantren dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi santri.

“Kami berharap melalui diskusi ini, kita dapat menemukan solusi yang tepat untuk melindungi anak-anak kita dari kekerasan,” ujarnya, Sabtu, 24 Agustus 2024.

Lebih lanjut, Ustaz Agung mengungkapkan adanya peningkatan dalam menyelaraskan agenda kepesantrenan dengan upaya pencegahan kekerasan anak sebesar 32,5%.

Dalam hal pendidikan dan pelatihan, sebesar 25% pesantren telah mengimplementasikan program pendidikan mengenai bahaya kekerasan anak, dengan 30% di antaranya melibatkan seluruh elemen pesantren mencakup para santri, ustaz, dan pengurus.

“Ini menegaskan upaya mereka dalam meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang kekerasan anak di lingkungan pesantren,” katanya.

Tidak cuma itu, pesantren juga mulai menjadikan pentingnya keberadaan layanan konseling sebagai perhatian utama.

“Meskipun baru 32,5% pesantren yang sudah menyediakan layanan ini, tetapi mereka menganggap bahwa fasilitas konseling sangat efektif,” ujarnya.

Koordinator Seknas JPPRA, Kiai Yoyon Syukron Amin menegaskan, hasil FGD tersebut telah mencerminkan kemajuan signifikan yang dicapai pesantren-pesantren dalam upaya memperkuat perlindungan anak.

“Meskipun tantangan seperti peningkatan frekuensi pelatihan dan perluasan layanan konseling masih ada, langkah-langkah positif yang diambil memberikan harapan untuk masa depan yang lebih aman dan ramah anak di lingkungan pesantren,” katanya.”

0 Komentar