RADARCIREBON.TV Warganet di media sosial TikTok menyoroti nasib Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana yang hingga kini masih terkatung-katung.
Topik RUU Perampasan Aset kembali mencuat usai demo dan protes dari sejumlah elemen masyarakat bertajuk “Peringatan Darurat Garuda Biru” yang digaungkan untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan kepala daerah.
Banyak pihak menilai, masyarakat juga perlu mengawal UU Perampasan Aset.
Pasalnya, sejak pemerintah mengirim surat presiden pada 4 Mei 2023, pimpinan DPR hingga kini tak kunjung membacakannya dalam rapat paripurna.
“UU PERAMPASAN ASET, 16 TAHUN BELUM BERES!!” tulis akun @sayasendirir***.
Baca Juga:Muncul Nama Mulyono Trending Topik di X Ternyata Nama Asli Jokowi, Begini Asal MulanyaMenikah Selama 2 Tahun Jenifer Lopez Gugat Cerai Ben Affleck
“Andai RUU Perampasan Aset sepecah ini (demo kawal Putusan MK) behhh…abis tuh koruptor.. tapi sayang rakyat Indonesia lebih mementingkan kepentingan elit politik..hasil dari demo ini memang demokrasi berjalan tapi siapa yang diuntungkan? ya tetep elit, rakyat cuma dapet capenya. Yuk bisa yuk sekalian aja tuh dorong RUU PERAMPASAN ASET,” tulis unggahan @gendeotsawa***.
Lantas, apa yang sebenarnya yang terjadi pada RUU Perampasan Aset?
Apa itu RUU Perampasan Aset?
RUU Perampasan Aset adalah aturan yang bertujuan untuk mengejar aset hasil kejahatan, bukan terhadap pelaku kejahatan.
Pemerintah sudah mengusulkan RUU Perampasan Aset ini ke DPR sejak 2012. Usulan itu dilakukan setelah Pusat Peneliti dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan kajian sejak 2008.
- Pihak yang didakwa dalam suatu tindak pidana, bukan hanya subyek hukum sebagai pelaku kejahatan, melainkan aset yang diperoleh dari kejahatan.
- Mekanisme peradilan terhadap tindak pidana yang digunakan adalah mekanisme peradilan perdata.
- Terhadap putusan pengadilan tidak dikenakan sanksi pidana seperti yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan lainnya.
Dengan adanya RUU ini, perampasan aset tindak pidana dimungkinkan tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang berisi tentang pernyataan kesalahan dan pemberian hukuman bagi pelaku.
Hal itu juga dikenal dengan istilah non-conviction based (NCB) asset forfeiture.
Dengan mekanisme tersebut, terbuka kesempatan untuk merampas segala aset yang diduga sebagai hasil tindak pidana, dan aset-aset lain yang patut diduga akan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.
Bermula dari curhatan Mahfud MD
Diberitakan Kompas.com (21/6/2024), awal mula menculnya isu RUU Perampasan Aset berawal dari curhatan Mahfud MD, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
Baca Juga:Kaesang Tidak Bisa Maju Pilgub 2024 Usai Keputusan Makhamah Konstitusi Tak Bisa DiubahPeluang Anies Maju Pilkada Jakarta 2024 Setelah Keputusan MK Tidak Diubah
Mahfud menyampaikan, RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Belanja Uang Tunai, belum disetujui DPR. Padahal, kata dia, RUU Perampasan Aset sangat diperlukan untuk mencegah tindak pidana korupsi.
Dalam RUU ini, pemerintah dapat merampas aset koruptor sebelum putusan final pengadilan dilakukan.
Dengan begitu, apabila RUU Perampasan Aset disahkan, negara dapat menyelamatkan aset-aset negara yang dikorupsi.
“Kalau boleh perampasan aset kan bisa diselamatkan. UU ini sudah disampaikan ke DPR, belum disetujui,” kata Mahfud setelah melakukan kunjungan ke panti asuhan Bina Siwi Pajangan, Bantul, Jumat (3/2/2023).
Beberapa hari kemudian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong agar RUU Perampasan Aset sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi, dapat segera diselesaikan.
“Saya mendorong agar RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana dapat segera diundangkan dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal segera dimulai pembahasannya,” ujar Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Selasa (7/2/2023).
Menurut dia, undang-undang perampasan aset tindak pidana tersebut penting untuk segera diselesaikan, karena ini adalah sebuah mekanisme untuk pengembalian kerugian negara dan bisa memberikan efek jera kepada para koruptor.
Presiden menekankan, penguatan regulasi ini diperlukan mengingat masih banyak tindak pidana korupsi di tanah air yang melibatkan unsur legislatif, yudikatif, dan eksekutif.