RADARCIREBON.TV – Tahun ajaran 2024/2025 menjadi kali pertama sekolah menengah atas (SMA) meniadakan jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Bahasa.
Kebijakan tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.
Penghapusan jurusan ini mengarah pada kefokusan siswa ihwal mata pelajaran yang ia senang-sukai. Dengan begitu, siswa diharap lebih fokus merakit pondasi pengetahuan yang relevan terhadap minatnya. Para siswa bisa memilih mata pelajaran penunjang bakat minatnya.
Baca Juga:Memajukan Kebudayaan Desa, Program Kebijakan Inovatif Kemendikbud Dukung Kemajuan Daerah TertinggalProgram Indonesia Pintar (PIP): Mewujudkan Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Sementara alasan penghapusan jurusan di atas penjabaran dalam rumpun ilmu terkandung di jurusan IPA dan IPS terlalu luas. Tak sedikit siswa mengeluh ihwal terlalu banyak mata pelajaran secorak dengan rumpun ilmu utamanya.
Di Suara Merdeka edisi 04 Agutus 2024, seorang kepala sekolah bernama Joko Mulyanto mengatakan, “Tidak adanya penjurusan MIPA dan IPS untuk mengakomodasi kepentingan anak terkait bakat minat serta mau melanjutkan ke perguruan tinggi,”.
Penghapusan jurusan ini sesungguhnya bertahap telah terlakukan mulai dari tahun 2020. Kiranya selama tiga tahun menilai perkembangan dan dampaknya
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Kemendikbudristek Anindito Aditomo bahwa kebijakan ini bagian dari impelementasi Kurikulum Merdeka. Maka di tahun 2024 ini, penghapusan jurusan di SMA menjadi salah satu kebijakan dalam Kurikulum Nasional.
Beberapa alasan penghapusan jurusan di antaranya; persiapan studi lanjut dan karier, hapus privilese jurusan IPA, dan sejalan dengan seleksi masuk perguruan tinggi.
Manfaat dan Tujuan Merdeka Belajar
Alasan pertama, memberi manfaat dan dorongan bagi siswa untuk terus melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. Para siswa sedari SMA digiatkan untuk menguatkan basis pengetahuan sebelum mereka benar-benar berjuang di bangku perkuliahan.
Persoalannya selama ini para siswa yang hendak fokus pada rumpul keilmuan di perguruan tinggi kelak, semasa SMA masih harus mengikuti mata pelajaran tak berhubungan dengan keilmuan tersebut.
Baca Juga:Menikmati Cita Rasa Kuliner Cirebon, Nasi Kuning, Uduk dan Lengko Mamas Haqqun GesikRiski Juliansyah Optimis Raih Emas Olimpiade Paris 2024 di Cabang Angkat Besi 73 Kilogram
Sepintas ini memang bagus, bagaimana siswa mendapat pelbagai pemahaman perlbagai rumpun ilmu sehingga mereka sendiri kelak yang bakal memilahnya. Namun, soal lain hadir, tak semua siswa mampu dan siap menghadapi sistem pendidikan dengan mapel masih global ini.
Kedua, tujuan menegasi hak istimewa (baca: privilese) jurusan IPA memang perlu segera ditangani. Bahkan tak sedikit diskriminasi dan stereotip kepada mereka yang bukan berasal dari IPA.Mereka di luar apa kerap mendapat sandangan anak kurang cerdas, nakal-nakal, dan dan hal negatif lainnya.
Dalam soal raihan kejuaraan pun kiranya siswa IPA manakala menjuarai olimpiade sains lebih terdengar prestisius ketimbang siswa IPS menyambet medali ekonomi, sosiologi, sejarah, geografi, dlsb.
Memang, di beberapa sekolah dan pelbagai kasus, siswa IPA cenderung pendiam, lebih banyak fokus belajar alih-alih siswa IPS yang begajul. Namun, tak pantas stereotipe itu diterapkan secara merata.
Toh ada juga siswa IPS yang pendiam, kutu buku, dan lainnya, sementara anak IPA sebaliknya. Soal ini sebetulnya terletak pada sesiapa orangnya, tergantung pada pribadi siswanya. Bukan menjadikan glorofikasi semata, dan pengultusan prodi lainnya.
Serta ketiga, kefokusan siswa dalam belajar mapel tertentu sesuai rencana program studi lanjutnya memang perlu segera terlaksana. Mereka, para siswa, yang tertarik di bidang sejarah dan berencana bakal melanjutkan studi di program studi tersebut, misalnya, mesti ditekan-kembangkan lagi di setiap pertemuan kelasnya semasa SMA.
Bahwa dalam seleksi masuk perguruan tinggi terbagi menjadi dua; soshum dan saintek. Namun, muatan di dalamnya terlihat bagaimana pelbagai rumpun keilmuan dalam dua kanon jurusan dan jenis soal itu perlahan bakal terlacak dan terpahami siswa.
Bahkan dalam beberapa kebijakan terdapat diskriminasi terhadap jurusan selain IPA. Mereka tidak bisa mendaftar prodi yang termasuk rumpun keilmuan IPA. Sementara siswa IPA boleh dan bisa mengambil prodi apapun di luar rumpun keilmuannya tanpa syarat dan hambatan. Tentu ini merupakan titik kecil dari bingkai ketidakdilan dalam kanon dunia pendidikan.
Walhasil lewat penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA/sederajat, selain karena tiga alasan besar di atas, kiranya menjadi terobosan baru ihwal birokrasi pendidikan di Indonesia. Tentu, bagaimanapun juga sebuah kebijakan memiliki tenor positif juga negatif. Tinggal bagaimana kita menyikapinya sedang pemikiran yang terbuka dan lapang.
Penghapusan jurusan memberi harapan kepada para siswa SMA agar lebih leluasa mengembangkan bakat dan minat. Beberapa ahli pendidikan konon anak-anak SMA belum siap diberikan penjurusan, jadi jalan pengapusan jurusan itu langkap tepat.
Dengan demikian, semoga kebijakan baru dari Kemendikbudristek bisa membawa perubahan, walau perlahan, bagi pemajuan pendidikan Indonesia, khususnya SMA. Hari demi hari kita sering mendengar ucapat “salah jurusan” saat seorang siswa baru beberapa bulan menginjakkan kaki di kampusnya.
Semoga frasa itu tak terulang lagi di hari-hari kebijakan penghapusan jurusan ini telah terlaksanakan oleh SMA/sederejat yang ada di Indonesia.