RADARCIREBON.TV – Terhitung sejak 2021, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemndikbud) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan mengudarakan program Pemajuan Kebudayaan Desa. Program ini sedikitnya mengantongi tujuan dan manfaat; membangun desa mandiri lewat inovasi dan kontribusi kebudayaannya. Progam PKD satu dari sekian program prioritas Direktorat Jenderal Kebudayaan pun mendapat dukungan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Desa sebagai wadah terkecil dalam skala nasional kerap menampung komunikasi dan gejala sosial masyarakatnya. Tangkapan sikap itu bisa terlihat dari bagaimana wajah desa dikenal tak lain dari sang penduduknya. Bahkan, Hilmar Farid, Dirjen Kebudayan memiliki harapan agar desa hadir sebagai ujung tombak pusat kebudayaan yang ada.
Desa masih menjadi identitas asal bagaimana budaya yang ada di Indonesia terbangun. Unit kebudayaan terkecil mewujud desa telah menjadi sebuah paradigma tak terbantahkan. Masyarakat desa selalu berusaha—dan mungkin akan terus—merawat pelbagai kebudayaan yang telah nenek moyang mereka warisi hingga kebudayaan yang mereka ciptakan.
Baca Juga:Program Indonesia Pintar (PIP): Mewujudkan Pemerataan Pendidikan di IndonesiaMenikmati Cita Rasa Kuliner Cirebon, Nasi Kuning, Uduk dan Lengko Mamas Haqqun Gesik
Masyarakat desa di mata Hilmar menjadi sebuah subjek pembangunan lewat jalan kebudayaan. Peran mereka amat penting dalam merancang dan memanfaatkan potensi yang ada di wilayah mereka, termasuk kebudayaan. Semua aspek desa mulai dari anak-anak hingga dewasa berkontribusi dalam arah kebudayaan. Beberapa desa pernah saya kunjungi yang sedeikitnya memiliki sebuah kebudayaan terwariskan turun-menurun dari nenek moyang mereka.
Pertama, Desa Lencoh Kecamtan Selo Kabupaten Boyolali Jawa Tengah. Dalam setahun, di beberapa hari besar Islam masyarakat Lencoh kerap mengadakan sadranan. Semacam tradisi saling mengunjungi rumah antartetangga dan saudara. Sepanjang tradisi berjalan, masyarakat Lencoh menyuguhkan pertunjukan kebudayaan tari-tarian. Sebuah grup seni bernama Budi Utomo mewadahi sekian generasi untuk bisa menari.
Di hari puncak sadranan kebudayaan tari di Lencoh dimulai sejak sore, berakhir malam. Pelbagai jenis tarian ditampilkan dengan penari anak-anak muda hingga dewasa. Hiburan lewat penampilan tari sudah masyarakat Lencoh laksanakan sebagai bentuk dari kebudayaan mereka menyambut dan merasa senang terhadap peringatan hari-hari besar Islam.
Mereka yang menyaksikan kebudayaan ini tampil bukan saja dari masyarakat sekitar, namun turis lokal dan mancanegara pun menikmatinya.
Kedua, berpindah ke Jawa Barat, di Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka masyarakat sudah hidup dan terhidupi tanah. Kebudayaan mereka mengubah tanah menjadi genting dan bata sudah terkhatamkan sejak nenek moyang mereka hidup. Hingga hari ini, kebudayaan mengolah tanah menjadi beberapa produk terus terlakukan oleh warga Jatiwangi sampai bisa terwartakan hingga mancanegara.
Hadirnya Jatiwangi art Factory bisa mewadahi pada pekerja tanah (penghasil genting dan bata) untuk lebih kreatif menyuguhkan produk baru—mereka mengistilahkan dengan “menu baru”—dari tanah. Terbentuklah sekian studio kreatif yang mengubah tanah menjadi pelbagai karya seni bernilai tinggi.
Tanah-tanah itu tak hanya dibentuk menjadi genting atau bata saja, melain merupa karya seni berupa ubin, relief, gerabah, alat musik, dan lain sebagainya. Berkat, mereka membahasakannya dengan—kerja tanah ini, kebudayaan tanah di Jatiwangi terus bergerak massif.
Baca Juga:Riski Juliansyah Optimis Raih Emas Olimpiade Paris 2024 di Cabang Angkat Besi 73 KilogramArtis Pelawak Andre Taulany Gugat Cerai Istri, Padahal Sudah 18 Tahun Menikah, Berikut Faktanya
Apalagi mereka telah lama mengikuti pelbagai program residensi ke pelbagai penjuru tanah air hingga dunia. Mereka, orang-orang Jatiwangi, perajin genting, pekerja tanah, dan seniman tanah telah membawa kebudayaan desa berupa tanah ke wajah dunia.
Ketiga, masih di Jawa Barat, di Desa Tegalwangi Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon setiap hari pengrajin rotan terus berinovasi membuat produk kebudayaan agar bisa termanfaatkan. Mereka menyulap batang rotan menjadi pelbagai bentuk yang memiliki nilai jual tak main-main.
Rotan melalui kreativitas warga Tegalwangi bisa berubah menjadi kursi, meja, sofa, hiasan, dan barang estetik lainnya. Nilai estetika dan harga jualnya pun tinggi. Produk mereka bahkan terus mengisi pada ekspor negara Indonesia untuk dunia. Produk dari kebudayaan desa “mengayam rotan” bisa ternikmati oleh masyarakat dunia.
Tegalwangi merupakan sentra pengrajin rotan terkenal di Wilayah 3 Cirebon. Mereka memiliki kebudayaan mengayam rotan dibubuhi kreativitas agar berdaya dan bernilai. Dari sejulur rotan warga Tegalwangi bisa membuatnya ke dalam rupa-rupa bentuk.
Kebudayaan ini didapat dari warisan leluhur mereka ditambah dengan pengalaman dan pengembaraan demi memajukannya. Kebudayaan memanfaatkan rotan bisa membawa mereka pada sebuah kehidupan yang layak, bahkan lebih dari cukup.
Dengan demikian, usaha Direktorat Jenderal Kebudayaan menggalang program Pemajuan Kebudayaan Desa ini dirasa pas bila melihat potensi kebudayaan yang ada di desa; tiga di desa di atas yang telah saya contohkan. Program tak lain memiliki tujuan penguatan terhadap pembangunan dan kemajuan dari poros kebudayaan.
Menyoal kebudayaan dan pembangunan, saya teringat sebuah buku berjudul Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (Gramedia, 1974) karya Koentjaraningrat. Buku ini menjelaksan bagaimana sebuah kebudayaan itu berwujud.
Yakni, sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dsb; sebagai suatu kompleks aktivitet kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Atas pembacaan itu, serta telah melihat bagaimana desa memiliki beragam kebudayaan, program Pemajuan Kebudayaan Desa amat sangat berharga dan penting untuk diterapkan pada seluruh desa; terkhusus mereka yang siap. Bahwah kekayaan kebudayaan Indonesia semakin hari semakin tergerus kiranya dapat kembali dipupuk lewat penguatan program ini.