RADARCIREBON.TV- Hari ini Indonesia berduka dengan berpulangnya satu anak pertiwi yang namanya besar di dunia sastra yaitu Ignas Kleden.
Ignas Kleden mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakti pada hari ini, Senin (22/01) karena menderita sakit ginjal.
Meninggalkan seorang istri dan anak, Kleden bukan hanya seorang sastrawan
melainkan sosiolog, kritikus sastra Indonesia yang pemikirannya tak lekang oleh waktu.
Baca Juga:Perjuangkan Nasib Petani & Nelayan, Cak Imin Beberkan Jumlah Petani Gurem – Reforma Agraria SejatiDebat Cawapres Angkat Isu Lingkungan dan Sumber Daya, Paslon 2 Singgung Masalah ‘Greenflation’, Apa Maksudnya?
Berikut profil mengenai Cendekiawan Ignas Kleden:
Ignas Kleder lahir pada tanggal 19 Mei 1948 di Waibarun, Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, dan besar di sana.
Ia lulus sekolah dasar dengan nilai tertinggi dan bersekolah di sekolah calon pastor. Namun, ia tidak bisa berkhotbah dengan baik dan berhenti sekolah.
Beliau kemudian menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Teologi, Ledalero, Maumere, Flores (1972),
memperoleh gelar Master of Philosophy dari University of Philosophy Munich, Jerman (1982), dan PhD bidang Sosiologi dari University of Bielefeld, Jerman (1995).
Ignas juga bekerja sebagai penerjemah buku teologi di penerbit Nusa Indah di Ende, Flores.
Kiprahnya di dunia kepenulisan yaitu pernah bekerja sebagai editor di Yayasan Obor Jakarta (1976-1977),
Yayasan Ilmu Pengetahuan Sosial Jakarta (1977-1978), dan Ikatan Peneliti Ekonomi Politik Jakarta.
Baca Juga:Debat Cawapres Angkat Tema Lingkungan, Paslon 3 Ganjar-Mahfud Kenakan Pakaian Berbahan Dasar Kapas Asal TubanPegagan: Tanaman Liar dan Punya Segudang Khasiat Menggelegar, Bisa Obati Gangguan Saraf
Pada tahun 2000, ia ikut mendirikan Go East, yang sekarang menjadi Pusat Studi Indonesia Timur.
Ketika masih tinggal di Pulau Flores, ia mengenal majalah Basis Yogyakarta dan rutin mengirimkan tulisannya ke majalah tersebut.
Ia juga menulis artikel untuk majalah Budaya Jaya Jakarta dan artikel semi polemik untuk majalah Tempo.
Setelah pindah ke Jakarta pada tahun 1974, ia aktif menulis di majalah dan majalah, dan menjadi kolumnis tetap di majalah Tempo.
Esai sastranya di muat di Basis, Horizon, Budaya Jaya, Kalam, Harian Kompas, dll.
Buku Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (Cerpen Pilihan Kompas 1997) juga memuat esainya, “Simbolis Cerita Pendek”. Kumpulan esai tentang perbukuan,
Buku dalam Indonesia Baru (1999), memuat salah satu tulisannya, “Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik tentang Kebudayaan”.
Buku kumpulan esainya adalah Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (1988) dan Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004).
Ia menulis kata pengantar untuk Mempertimbangkan Tradisi karya Rendra (1993), Catatan Pinggir 2 karya Goenawan Mohamad (1989), dan Yel karya Putu Wijaya (1995).
Tahun 2003, bersama sastrawan Sapardi Djoko Damono, menerima Penghargaan Achmad Bakrie.
Ia di nilai telah mendorong dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial di Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih tajam lewat essai dan kritik kebudayaannya.