CIREBON – Prof Dr Ayatrohaedi telah melakukan penelitian terhadap naskah Wangsakerta yang berasal dari Cirebon. Naskah Wangsakerta sendiri ditulis selama 21 tahun yakni antara tahun 1677-1698 dan berbahasa Cirebon. Dan naskah Wangsakerta dianggap sebagai buku induk nusantara.
Lantas apa hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof Ayat tersebut?
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa Prabu Siliwangi itu merupakan julukan untuk raja rata Kerajaan Sunda. Bahkan jumlahnya 8, bukan satu. Sehingga bukan hanya Sri Baduga Maharja.
Menurut Naskah Wangsakerta, kata Ayat, tidak ada raja Kerajaan Sunda bernama Prabu Siliwangi. Sebab, itu hanyalah julukan untuk raja-raja Sunda penerus Prabu Wangi.
Baca Juga:Disparbud Garut akan Mengelola Situ Bagendit, Ini Harapan Wabup GarutLangit Nusantara
Berdasarkan naskah yang sama dan juga Carita Parahiyangan, berarti terdapat delapan raja yang bergelar Prabu Siliwangi.
Sejumlah cerita menyebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja adalah yang paling gemilang dalam kepemimpinan di Tanah Sunda.
Namun, Ayat meragukan hal ini. Sebab, di masa kepemimpinan Sri Baduga Maharaja, Kerajaan Islam justru sedang berkembang.
Kemudian, Ayat juga tidak sependapat dengan persepsi bahwa Sri Baduga Maharaja adalah raja terakhir.
Sebab, Kerajaan Sunda baru runtuh tahun 1579 tepatnya 58 tahun setelah Sri Baduga Maharaja meninggal.
“Dengan mengikuti Naskah Wangsakerta berarti raja terbesar adalah Niskala Wastukancana sebagai Prabu Siliwangi I sedangkan raja terakhir adalah Suryakancana yang berjuluk Prabu Siliwangi VIII,” kata Ayat, seperti dilansir dari Historia.
Naskah Wangsakerta juga menyebut bahwa raja Sunda terakhir adalah Suryakancana atau dalam Carita Parahayiangan bernama Nu Siya Mulya yang memerintah selama 12 tahun (1567-1579). (yud)