OLEH : Dahlan Iskan
INI bukan gunung kembar, tapi diberi nama Olat Maras –artinya: bukit kebahagiaan, dalam bahasa Sumbawa.
Di puncak bukit itu terbaca tiga huruf besar: UTS –yang karena tingginya masih terasa kecil. Di bawah bukit itulah berdiri Universitas Teknologi Sumbawa.
Kini mahasiswanya sudah 5.000 orang –29 di antaranya dari 29 negara.
Ini kali kedua saya ke UTS –Minggu malam dan Senin pagi lalu. Berarti sudah 13 tahun saya belum ke kampus itu lagi. Padahal hampir dua tahun sekali saya ke Sumbawa.
Baca Juga:Bandel, Satpol PP Bongkar Puluhan Bangli di Jalan Interchange Karawang Barat, Pemilik Tak Gubris Surat TeguranKeterlaluan, Bansos Tunai Rp900 ribu Disunat Oknum, Akhirnya KPM Penerima bantuan Lapor Polisi
Tentu UTS sudah berubah banyak. Termasuk sudah punya 26 prodi. Lima di antaranya di bidang teknik: metalurgi, elektro, mesin, sipil, dan informatika.
Tentu bersejarah pula: Sumbawa punya universitas seperti itu. Saya pun bertemu pendirinya malam itu: Dr Zul. Asli Sumbawa. Umur 48 tahun. Punya kuda banyak sekali: kuda pacu. Sampai lebih 300 ekor. Pun punya arena pacuan kuda sendiri.
Hobi kuda itu diwarisi dari orang tuanya. Lalu dikembangkannya. Kampus UTS itu pun di tanah peninggalan orang tuanya: 600 hektare luasnya. Masih ia tambah lagi berhektare-hektare yang baru.
Ketika kelas 3 SMAN 1 Sumbawa Dr Zul berangkat ke Australia: menyelesaikan SMA di sana. Lalu masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tamat. Lebih dari itu, ia jadi tokoh aktivis mahasiswa di UI: sampai menjadi ketua Senat Mahasiswa UI –setelah nama Dewan Mahasiswa dianggap sensitif.
Dari UI, Zul ke Glasgow, Skotlandia. Master ekonomi ia dapat dari sana. Lalu lanjut S3 di Glasgow juga: doktor ekonomi. Tujuh tahun Zul di Glasgow.
Tapi bukan hanya karena lama di negara Kristen itu saja yang membuat Dr Zul tergolong paling moderat di lingkungan PKS –Partai Keadilan Sejahtera. “Yang paling mewarnai sikap moderat saya adalah saat menjadi ketua senat mahasiswa UI,” katanya. “UI itu begitu beragam. Saya harus mengakomodasikan aspirasi begitu banyak warna mahasiswa di UI,” tambahnya.
Bahwa ia memilih mendirikan universitas di kampung halamannya, itu sinkron dengan sikapnya itu. “Hanya pendidikan yang bisa membuat sikap ekstrem menjadi moderat,” katanya.
Baca Juga:Dian CiputraParah, Jalan di Karawang Ini Tak Kunjung Diperbaiki, Padahal Sudah Satu Tahun Longsor
Bahwa universitas itu didirikan di pulau kecil dan di kota kecil Sumbawa, Dr Zul punya teori sendiri. “Di Sumbawa itu banyak bibit orang pintar. Yang seperti Fahri Hamzah itu banyak sekali,” guraunya.
Yang lebih serius, ia ingin membangun Indonesia, lewat Sumbawa.
Karena itu UTS mencari anak pintar dari semua provinsi. Harus pintar. Bahwa mereka miskin, harus diberi beasiswa. Maka UTS sekarang ini telah menjadi miniatur Indonesia di Sumbawa. Suku apa saja, agama apa saja ada di UTS.
Dari 5.000 mahasiswa itu yang 3.000 adalah anak pintar yang miskin –kuliah dari beasiswa.
Dr Zul memang pandai mencari sumber beasiswa. Kedudukannya sebagai anggota DPR (tiga periode) membantu banyak. “Setiap anggota DPR kan punya jatah (rekomendasi) bidik misi sampai 100 orang. Saya minta beberapa teman DPR untuk menyerahkan sebagian jatah mereka ke saya,” ujar Zul. Ditambah berbagai sumber beasiswa lainnya.
Pun ketika sekarang menjadi Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Dr Zul bilang: harus mencetak 1.000 master dan doktor lulusan luar negeri.
Maka dengan APBD NTB sang gubernur giat mengirim mahasiswa ke negara lain. Agar tidak mahal, dipilihlah negara-negara seperti Polandia. Yang mutu pendidikannya baik tapi beasiswanya murah.
Ngobrol malam itu terlalu asyik. Senin pagi saya kembali ke kampus. Saya diskusi dengan rektornya: Dr Chairul Hudaya. Ia orang Sukabumi. Doktornya diraih di Korea Selatan.
Tentu saya juga melihat keindahan perbukitan yang dikombinasi dengan persawahan di kampus itu. Memang ada saluran irigasi teknis yang baik di situ. Yang dibangun di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri. Sawah pun menjadi subur.
Dari kampus, saya ingin menemui mahasiswa asing di Global Village. Saya harus berjalan kaki 1 Km di jalan kecil di tengah sawah. Tidak boleh ada kendaraan melewati jalan itu: kecuali kendaraan listrik. UTS memang sudah memproduksi sepeda listrik: NgebUTS –dan saya sudah mencobanya.
Di ujung jalan itu: sungai kecil berbatu. Tanpa jembatan. Saya harus menyeberanginya: copot sepatu. Di seberang sungai ada dua kerbau bule yang melihat dengan takjub betapa takutnya kami dengan air yang hanya sedikit itu.
Malam sebelumnya ada 5 mahasiswa asing ikut nimbrung obrolan kami dengan Dr Zul: Sasa, gadis kulit putih dari Belarusia, Nurul Huda dari Lebanon, Mauro Nicolas Scabuzzo dari Argentina, dan Safi dari Iran.
Tapi Senin paginya saya hanya bertemu Mauro dan Nurul Huda. Yang lain sibuk kuliah.
Nurul Huda ini menarik: namanyi sama dengan nama masjid terbesar di Sumbawa Besar. Dia lahir di Lebanon. Besar di Lebanon. Ayahnyi pun lahir di Lebanon. Tapi dia tidak boleh menjadi warga negara Lebanon. Nurul dianggap tetap warga negara Palestina. “Itu karena kakek saya lahir di Gaza,” ujarnyi. “Jadi paspor saya ini paspor Palestina,” ujar Nurul.
“Pernah ke Palestina?” tanya saya.
“Tidak pernah,” jawabnya.
“Pernah ke Gaza,” tanya saya mempertegas.
“Belum pernah,” tegasnya.
Dia warga Palestina, berpaspor Palestina tapi belum pernah melihat Palestina. Maka di UTS ini ada mahasiswa Katolik dari Argentina, mahasiswi Ortodoks dari Belarusia, Islam Syiah dari Iran. Ada juga yang Hindu dari Bali, dan Buddha.
Saya tentu salut pada Dr Chairul Hudaya. Ia memilih jalur mengabdi di tempat sunyi. Ia harus meninggalkan UI. Ia dosen di sana. Pernah menjadi dosen teladan nasional pula. Ternyata di kota seperti Sumbawa Besar bisa muncul universitas besar –pada saatnya.
Dr Zul sendiri minoritas di NTB –orang Sumbawa hanya 25 persen di NTB. Dan PKS juga bukan partai terbesar. Tapi ia bisa terpilih sebagai gubernur NTB. Itu menandakan Dr Zul lebih besar dari Sumbawa.
Maka kalau begitu banyak gubernur yang ingin jadi calon presiden atau wapres apakah Dr Zulkieflimansyah, gubernur NTB, juga akan ke sana? Dulu, PKS punya andalan Gubernur Jabar Achmad Heriawan. Kini telah punya satu lagi.
“Saya setuju kalau Indonesia ini punya tiga wapres,” ujar Dr Zul. “Agar Indonesia lebih rukun dan damai.”
Rupanya Dr Zul tidak hanya punya banyak kuda. Tapi juga punya banyak langkah kuda. (Dahlan Iskan)
** Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.