Oleh: Dahlan Iskan
PRESIDEN melarang ekspor batu bara –tepatnya sebenarnya oleh dirjen Minerba. Menteri membolehkannya –seminggu kemudian.
Itu menunjukkan Presiden Jokowi tidak ragu-ragu menjatuhkan hukuman drastis secara mendadak. Tapi presiden juga realistis: silakan menterinya mencabut larangan itu bila mana tujuan pokok hukuman sudah tercapai.
Yang oposisi menilai: itu memalukan (keputusan presiden dianulir menteri), tidak ada harga diri (berlawanan dengan ajaran Jawa: idu geni), mudah terpengaruh (setelah ditekan negara lain), dan sebangsa itu.
Baca Juga:Ada 900 Gedung Sekolah yang Rusak Berat di KarawangLiburan ke Cirebon? 5 Menu Sarapan Ini Patut Dicoba
Saya mendengarkan dua-duanya. Diskusi yang sangat menarik. Sikap saya sendiri jelas –mirip yang kemudian menjadi sikap Dewan Energi Nasional: batu bara sebanyak-banyaknya harus untuk menghasilkan energi murah di dalam negeri –demi mendapatkan keunggulan dalam persaingan industri.
Pemerintah sebenarnya juga sudah mengakomodasikan itu: lewat DMO (domestic market obligation). Para pemegang izin harus menyisihkan 25 persen batu baranya untuk diabdikan bagi kepentingan dalam negeri.
Aturan DMO itu sudah berlaku lama sekali. Sejak zaman Presiden SBY. Presiden Jokowi lantas menyempurnakannya.
Di zaman Pak SBY, yang penting ada alokasi untuk dalam negeri: sebanyak 25 persen dari total produksi masing-masing pemegang izin. Aturan itu tidak mencampuri urusan harga: itu business to business.
Di tahun 2017, Pak Jokowi tidak hanya mengatur persentase: harga DMO itu dipatok. Yakni USD 70/ton –berdasar kualitas 6.322. Ada rumus harga berikutnya: kalau kualitas batu bara di atas itu. Atau di bawahnya.
Penetapan harga DMO itu sebenarnya masih tetap menguntungkan pemilik tambang. Ada hitungan rasionalnya. Sangat rinci: cost plus plus plus.
Yakni seluruh biaya menambang sudah dimasukkan. Masih ditambah biaya bunga. Lalu ditambah biaya jasa. Ditambah pula keuntungan untuk pemilik tambang. Jadilah USD 70/ton.
Baca Juga:Akibat Dampak Kegiatan Blasting Pertambangan, Tujuh Rumah RetakKenapa Cadas Pangeran Sering Longsor, Ini Kata Pakar Geografi
Tapi tetap saja banyak yang tidak mau memenuhi kewajiban DMO. Lebih banyak dari yang taat. Dari 600 lebih penambang, kurang dari 50 yang taat DMO.
Sampai-sampai PLN mengalami krisis batu bara. Sampai-sampai harus menggunakan LNG yang mahal.
Heboh.
Para penambang pilih menggenjot ekspor habis-habisan. Sampai melebihi 500 juta ton setahun. Di tahun kemarin. All out. Habis-habisan. Seolah batub ara itu tidak akan pernah habis.
Harga ekspor memang lagi gila-gilaan: naik dari USD 80 menjadi USD 250/ton. Sekarang harga itu memang sudah turun. Tapi hanya sedikit. Masih di angka USD 170. Masih selisih USD 100 di atas harga DMO.
Sebenarnya penetapan harga USD 70 itu sangat membantu PLN –yang tarif listriknya tidak bisa naik-turun mengikuti fluktuasi harga batu bara. Tapi selisih USD 100 itu menjadi Rp 1,5 triliun untuk setiap 1 juta ton. Mata Anak Alay pun akan berubah menjadi bang-jo melihatnya.
Maka muncullah ide baru dari pemerintah: membentuk BLU –badan layanan umum. Yakni seperti perusahaan tapi bukan BUMN. Atau seperti lembaga pemerintah tapi di luar APBN.
Berarti kementerian ESDM yang akan mendirikan BLU itu. Anda bisa mengusulkan nama nya: misalnya, Rezeki Denbey.
Pemerintah tidak mau tahu lagi: seluruh pemilik tambang harus menyerahkan 25 persen produk mereka ke BLU.
Berarti BLU akan punya stok batu bara dalam jumlah puluhan atau ratusan juta ton.
Mungkin BLU akan membangun stok pile –gudang terbuka batu bara yang mahaluas. Berarti, BLU juga harus membangun pelabuhan besar. Ini menyangkut biaya triliunan rupiah.
Atau BLU menyewa saja fasilitas seperti itu. Baik di lokasi milik penambang sendiri atau di gudang-gudang milik PLN. Atau milik siapa pun.
Saya harus akui ide BLU itu bagus –kalau dilaksanakan sejak 15 tahun lalu. Fasilitas itu bisa sekaligus untuk blending batu bara. Batubara yang sangat baik dicampur dengan yang kurang baik: menghasilkan batu bara baik. Juga batu bara yang punya standar mutu yang konsisten.
Sekali lagi investasinya sangat besar: termasuk mesin-mesin blender raksasa.
Berarti BLU mendapat batu bara itu dengan harga beli USD 70. Lalu BLU-lah yang menjual ke PLN. Dengan demikian PLN tidak perlu lagi punya anak usaha batu bara. Juga tidak perlu lagi ada divisi pembelian batu bara.
Kalau memegang angka tahun lalu, jumlah produksi batu bara Indonesia 600 juta ton. Kalau DMO-nya 25 persen berarti BLU akan menerima batu bara 150 juta ton.
PLN hanya memerlukan sekitar 125 juta ton. Berarti BLU bisa mengekspor selebihnya: 25 juta ton. Dengan harga internasional.
Maka BLU akan mendapat laba luar biasa besar: sekitar Rp 40 triliun setahun. Kalau harga batu bara tetap seperti sekarang. Duh besarnya. Hahaha SWF bisa tiba-tiba memutar uang itu untuk proyek apa saja –asal jangan kereta cepat Jakarta-Bandung.
Tentu ada harapan baru: untuk tol Sumatera dan Kalimantan. Lewat SWF. Dari sini dana batu bara itu bisa diabdikan kembali ke daerah penghasil batu bara.
Krisis di PLN ternyata bisa menghasilkan ide brilian untuk membangun jalan tol di mana-mana. (Dahlan Iskan)